PAGI itu, Minggu
(26/12/2004). Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 7.00 WIB saat kapal
berbobot mati 2.600 ton itu merapat ke Pelabuhan Ulee Lheue untuk mengisi bahan bakar. Didalam
kapal itu, ada tujuh orang karyawan. PLTD Apung, begitulah
nama kapal itu. Setelah kapal itu merapat ke pelabuhan, tiba-tiba bumi
bergoncang hebat. Awak kapal panik. Berselang 30 menit kemudian, Air laut surut
sekira 1,5 kilometer. Kapal itu berubah jadi miring. Enam dari tujuh karyawan
kapal itu berhamburan keluar kapal untuk menyelamatkan diri.
PLTD Apung sebelum dan sesudah tsunami
“Satu orang tidak keluar karena sedang tertidur,” kata
Pemandu Kapal PLTD Apung, Gibran Alqausar, saat ditemui pada Selasa
(25/12/2012).
Sejurus kemudian, air laut yang tadi surut itu berubah
menjadi ganas dengan gelombang besar. Air laut yang belakangan diketahui
bernama tsunami itu turut menyapu seluruh benda yang ada di depannya. Kapal
yang baru bersandar itupun tak luput dari kerasnya terjangan tsunami. Kapal itu
turut dibawa kedaratan bersama dengan benda-benda lainnya.
Deriansyah, salah seorang karyawan kapal yang tidak turun
karena tertidur itu kemudian terbangun kala kapal sedang dibawa arus.
“Sedangkan enam karyawan lainnya menjadi korban tsunami. Hanya Deri yang
selamat karena tidak turun dari kapal,” cerita Gibran.
Alhasil, kapal berbobot mati 2.600 ton dengan panjang 63
meter itu berlabuh di Desa Punge Blangcut, Kecamatan Jayabaru, Banda Aceh.
Kapal itu digiring ombak raya ke tengah pemukiman warga sekitar 5 kilometer
dari tempat berlabuh semula, Pelabuhan Ulee Lheue.
Saat tsunami meluluhlantakkan Aceh, tak sedikit warga yang
selamat akibat menumpangi kapal itu. Warga yang berada di atas rumah langsung
lompat ke atas kapal kala melihat kapal itu sedang digiring ke daratan.
Gempa berkekuatan 9,3 skala richter yang menyebabkan.gelombang
dahsyat itu menyebabkan sekitar 200 ribu warga Aceh meninggal dunia dan ratusan
ribu lainnya kehilangan tempat tinggal.
Kini, kapal yang dulunya difungsikan sebagai pembangkit
listrik itu sudah menjadi sebagai salah satu objek wisata tsunami di bumi
serambi Mekkah.
Saban hari, ratusan pengunjung berdatangan ke kapal ini
untuk menyaksikan dahsyatnya tsunami yang meluluhlantakkan Aceh sembilan tahun lalu itu.
“Yang paling banyak datang ke sini yaitu wisatawan asing dan
dari dalam negeri banyak juga,” jelas Gibran.
Objek wisata kapal apung ini resmi dibuka kembali untuk umum
sejak 4 April 2012. Rehap lokasi itu dimulai Juli 2011 silam dengan dana dari
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Setelah rehab itu, situs tsunami
ini sudah memiliki pagar dan bangunan yang lebih tertata.
Berada di atas kapal, pengunjung dapat melihat sebagian kota
Banda Aceh dan dapat mengetahui berapa jauh kapal itu diseret ombak tsunami.
Sebab, dari lantai kapal setinggi 20 meter itu akan terlihat laut dan dermaga
Ulee Lheue.
Di dalam komplek kapal itu berlabuh sekarang, juga dibangun
sebuah museum foto yang menampilkan detik-detik tsunami Aceh. Foto mayat-mayat
korban tsunami yang tergeletak dijalan maupun puing-puing sisa tsunami turut dipajang
dala m museum itu. ”Museum foto ini agar wisatawan yang dapat melihat peristiwa
tsunami yang melanda Aceh,” ungkapnya.
Tak sedikit pengunjung yang meneteskan air mata kala melihat
foto-foto yang dipajang itu. “Semoga tsunami bisa jadi pelajaran bagi kita,”
kata Husna, salah seorang pengunjung asal Medan.
Husna yang baru kali ini datang ke Aceh itu mengaku tak
menyangka bahwa kapal seberat 2.600 ton itu berlabuh di pemukiman padat
penduduk. “Itulah kehendak Allah. Ini harus jadi pelajaran bagi kita semua,”
ungkapnya.
Tempat wisata itu dibuka saban hari sejak pukul 10.00.WIB
sampai sekitar pukul 21.00 WIB. “Malam akhir pekan, jadwalnya kadang sampai
tengah malam,” ungkap Gibran.
Posting Komentar